Mangekyo Sharingan

Translate blog

Pengikut

Subscribe Now: standard

Follow BLOG Saya

Sabtu, 11 Januari 2014

Tomura Saburo, Mengajar Bahasa Jepang di Samarinda Demi Menyambung Hidup


 
Samarinda - Tomura Saburo, pria kelahiran Tokyo 50 tahun silam ini begitu menyukai Indonesia. Hampir 11 tahun dia tinggal di Indonesia, rela diberi honor perjam sebagai pengajar bantu Bahasa Jepang di Universitas Mulawarman Samarinda, hanya untuk menyambung hidup tinggal di Samarinda. Bagaimana kisahnya?


Sabtu (11/1/2104) sore, jarum jam menunjukan pukul 17.20 WITA. Tom, begitu sapaan akrab Tomura, mengenakan setelan jeans, berkaos oblong dan bersendal jepit, memesan kopi hitam tanpa gula di sebuah warung makan soto di bilangan Jl Harmonika, Prefab, Samarinda.

Belakangan detikcom tahu bahwa dia adalah tenaga pengajar bantu Bahasa Jepang di Universitas Mulawarman, universitas negeri ternama di Kalimantan Timur. Beruntung, Tom bersedia berbagi kisahnya selama hampir 11 tahun di Indonesia, dimana 6 tahun terakhir ini dijalaninya di Samarinda.

Tom tahu tentang Indonesia saat duduk di bangku SMA. Saat itu, dia bergabung dalam klub musik gamelan. Usai lulus kuliah di jurusan Matematika Waseda University, kemudian dia memutuskan untuk ke Indonesia, memenuhi tentang rasa keingintahuannya tentang Indonesia. Di Indonesia, tahun 1996 silam dia masuk Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta jurusan Bahasa Indonesia. Namun sayang, kuliahnya hanya berlangsung 1 tahun lantaran Indonesia dihantam krisis moneter saat itu.

"Warga negara Jepang saat itu diminta pulang ke Jepang karena krisis moneter di Indonesia. Jadi saya sempat pulang. Tidak lama, saya kembali lagi ke Indonesia," kata Tom, dalam perbincangan bersama detikcom. Sesekali, Tom menyeruput kopi hitam di hadapannya.

Pada 2002, dia sempat mengajar Bahasa Jepang di Universitas 17 Agustus 1945 di Surabaya. Dia juga pernah mengajar bahasa Jepang di Aceh, Padang, Gorontalo hingga Lombok, sebelum akhirnya Tom tiba di Samarinda, Kalimantan Timur sebagai tenaga pengajar bahasa Jepang. Banyak pengalaman hidup yang dia petik selama berada di daerah-daerah itu juga membuatnya kian memahami budaya dan karakter masyarakat Indonesia.

Bukan penghidupan yang layak yang dia peroleh sebagai pengajar bahasa asing sejak 2008 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 dan SMA Negeri 2 Samarinda hingga di Universitas Mulawarman, melainkan honor mengajar yang dibayarkan per jam
"Setiap hari rata-rata 2-4 jam mengajar bahasa Jepang. Tidak, saya tidak dibayar gaji perbulan tapi honor per jam yang dibayarkan. Tidak kaget (dibayar honor perjam). Saya tidak cari kaya, sederhana cukup," ujar Tom yang tinggal menumpang di asrama mahasiswa di Jl Harmonika, Samarinda.

"Saya sangat tertarik dengan Indonesia yang sangat unik. Di sela saya mengajarkan bahasa Jepang, saya juga mengajarkan bagaimana etos kerja itu penting kepada siswa dan mahasiswa. Mereka memiliki potensi luar biasa dan hidup itu harus tetap bersemangat, pantang menyerah," tambahnya dalam bahasa Indonesia yang tidak begitu fasih.

"Tidak ada juga yang membiayai saya di Indonesia. Saya berjuang sendiri bagaimana mendapatkan uang, bertahan hidup untuk diri saya sendiri," ungkap dia lagi.

Lantas bagaimana keluarga yang ditinggalkannya di Tokyo? Selama ini, komunikasi yang dilakukannya dengan keluarganya hanya sebatas berkirim email. Hingga pada suatu hari, 2 kakaknya di Tokyo mengatakan agar pulang ke Jepang setelah Tom tidak bernyawa lagi.

"Tapi saya berpikir positif. Saya memahami kalau kakak saya tidak bersungguh-sungguh mengatakan itu. Makna di balik ucapannya itu adalah bahwa dia percaya bahwa saya bisa bertahan hidup di Samarinda," terang Tom.

"Kalaupun ada kesempatan pulang ke Jepang, saya tidak akan pulang. Saya lebih tertarik ke pendidikan, siswa, murid dan mahasiswa adalah penyemangat saya. Bagaimana usia mereka masih muda, sangat berpotensi untuk bisa meraih sukses di kemudian hari," sebut Tom yang terkadang dipercaya menjadi penghubung antara Pemda di Kaltim ke Konsulat Jepang di Indonesia.

"Indonesia itu unik dengan kebudayaan yang luar biasa. Hanya saja yang saya amati di Indonesia bahwa ruang publik untuk bersantai, duduk meski hanya sebatas membaca koran di taman, itu yang sangat kurang di Indonesia," tutup Tom yang bercita-cita tahun ini bisa menyelesaikan tulisannya tentang budaya kedua negara dalam terjemahan bahasa Indonesia.

0 komentar:

About Me

Ryan Pratama
Hahaha gak penting
Lihat profil lengkapku

Vistor

Sms Gratis


Make Widget

Follow Twitter

Subscribe Now: myy

Add to Google Reader or Homepage